Feed me!

29 November 2009

Me vs High Heels


Tenang, ini bukan resensi film, saya aja cuma tau ada film dengan judul begitu tapi ga pernah nonton itu film tentang apaan. Ini merujuk tentang sepatu high heels saya, yang cuma sebuah, dan baru aja direparasi setelah sebulanan yang lalu hak nya patah [pas di kondangan lagi]. Dan jangan berpikiran solusi ala iklan permen Mentos [yang matahin hak sepatunya sebelah lagi] itu bisa ngeberesin masalah. Tetep aja itu sepatu ga bisa dipake lagi.. kecuali kamu mau jalan kaya orang mengendap2 [alias jinjit hahahha] dan diliatin orang2.

27 November 2009

Deserve to be Happy? Le Fin


Suatu saat saya diantar mama ke poliklinik, karena maag saya kumat lagi, Selama saya kuliah, saya hidup sendiri jauh dari orang tua, tetapi kena maag hanya karena masalah begini. [shame on you, Sher!] It was just the two of us, karena biasanya saya harus ‘berbagi emak’ dengan saudara2 saya yang lain. That time, she’s mine only. Dan mama saya bilang sambil menangis akhirnya “Mau sampai kapan kamu kaya begini? Kamu memang ga cerita, tapi mama tau, mama bisa merasakan yang kamu alami. Kalau itu memang pilihanmu, mama ga akan melarang. Tetapi kalau jadinya membuat kamu sakit dan sengsara, mama sungguh mati ga rela…” Saat itu saya memang lagi menye2 akut banget yang kerjaannya nangis mulu tiap hari [yes, sampe semellow-sumellow itu saya jadinya]. Sepotong kalimat dari mama saya bagaikan menampar saya, membuat saya sadar betapa selama ini saya sangat egois. Saya pikir saya yang paling menderita, dikejar2 pertanyaan “I deserve to be happy kan?” saat itu dari dalam hati saya ada yang menjawab “siapa yang tidak, Sher?

Deserve to be Happy?


Back to 7 months ago

7 bulan yang lalu, and i'm happy to tell that i'm doing fine (now). Sampai saya membaca status "in relationship" di profile orang itu [say hello to my curiosity]. First, i feel stunned..then angry..with a little bit sad.. but in the end i feel relieve. Bingung? i told you, saya yang ngerasain aja bingung sendiri, kenapa bisa perasannnya nano-nano gitu. After all these times, the memory still live inside my head.

I'm not the kind of girl who loves talking about marriage (no offense ya ladies ^^). For me it's just another drama in this life. Saya ga bilang menentang orang yang memilih untuk menikah dan kawan2nya. Mungkin ini cuma salah satu pertanda i'm not deal with myself, well yes i do. Bahkan in a harsh way, saya pikir menjadi seorang istri (dan seorang ibu pada akhirnya) apa bedanya dengan pembantu? (no offense lagi yaa). Kerjanya 24 jam sehari, 7 hari seminggu nonstop, masi mending jadi pembantu dong bisa dapat jatah cuti dan uang lembur. Tapi itu kan saya saat pikirannya masi sempit dan belom ketemu contoh2 lain yang working on happily marriage. But, still i don't find one damn good reason, why you wanna say "i do". Even yang mengajak adalah your bf, and that's when the things getting worse. Anda boleh tertawa, i break up with my bf, karena alasan simpel : saya ga mau nikah.



Reaksi temen [yang akhirnya berani bertanya setelah berspekulasi macam2 tentang bubarnya hubungan saya] juga banyak, tapi semuanya satu suara : menyayangkan keputusan saya.

Nanti lu ga laku lho, jadi perawan tua
Emg kenapa nikah muda, nanti kelamaan lu susah punya anak lho
Lho biasanya cowo yang takut komitmen, koq ini kebalik sih?

Believe me, I’ve been haunted with those question too. Almost 3 months ketika sedang ‘didiamkan’ sama bf, sampai saya punya keberanian untuk bubar sama dia. And deep down in my heart saya sungguh percaya, dia juga menginginkan itu, dengan mengkondisikan supaya saya akhirnya yang maju duluan dan mengakhiri hubungan ini [Dasar laki2! ups sori] In that mean time, disela2 sakit maag [damn!] saya merasa stuck. Baru kali ini saya merasakan terjepit ditengah2, antara saya menyesali masa lalu, ketakutan dengan masa depan, dan saya tidak bisa hidup di masa kini karena terlalu sibuk khawatir. Saya memutuskan hubungan dengan seseorang yang sudah bersama saya selama 5 tahun, demi mengejar kata hati saya yang bilang he’s the right one. Dan ketika saya sudah bersamanya, saya menyadari betapa berbeda nya orang ini dibandingkan sebelumnya [ever heard kan orang baru keliatan aslinya saat kepepet?]. Dan saya worried [a lot], apakah saya bisa terus bersama dia, even he keep breaking my heart by pushing me to do something I don’t want to. But I just don’t wanna be alone. Yang ada dalam pikiran saya saat itu : hey, saya sudah melepaskan hubungan yang penuh jaminan untuk mengejar pilihan hati dengan sungguh2, saya mencoba jujur sama perasaan sendiri. I DESERVE TO BE HAPPY after all of my sacrifice. Dan tanpa saya sadari itu lah belenggu saya yang terus menyiksa dan jadi duri dalam daging.

Am not saying he’s not nice, dan saya pun percaya dia sungguh2 waktu menceritakan impiannya about married in young ages [kadang2 saya merasa lebih ‘laki2’ daripada dia]. Dia bela2in kenalan sama bokap [menakutkan lho], dia mengundang saya ke rumahnya supaya kenal dengan keluarganya. Buat saya yang ga punya impian semacam itu, tentunya cuma bisa mendukung apalagi dengan tawaran “Maukah kamu membantu saya mewujudkan impian itu?” Ladies, you feel me? Apa susahnya membantu, apalagi untuk our dearest one?

Dan kemudian impiannya berubah menjadi impian kita. Yang saya pikir, we’ll take it slow [hey, buat saya ini sangat ekstrim, krn I never think about that before] ternyata he want it NOW. Saya merasa terseret2 mengikuti ‘impian kita’, I’ve no idea, no passion kecuali menyenangkan hati my bf. Bukankah yang namanya ‘impian kita’ itu seharusnya membuat saya sebagai bagian darinya happy kan? Yang ada saya semakin ketakutan, membayangkan Bagaimana saya bisa hidup dengan seseorang yang tidak bisa berkompromi dengan saya? Saya tidak merasa dicintai lagi. Saya merasa seperti obyek yang dia pakai untuk memenuhi ambisinya memenuhi target nikah muda dan punya anak tiga. Bukan pribadi saya yang dia mau, tapi seorang yang bisa dikasi label “istri” not to mention siap dibuahi.

Tetapi impian dan realita ga selalu sejalan. Perbedaan pola pikir, budaya dan segala macam tetek bengek [yang tadinya kita pikir bisa dihadapi bersama] ternyata menghadapkan kita pada kenyataan bahwa kita tidak bisa menikah sekarang [sejujurnya ini melegakan buat saya]. And he’s going berserk. Sikapnya berubah sampai saya merasa tidak kenal siapa dia lagi, yang terlihat di mata saya hanya seperti anak kecil yang ngambek karena tidak mendapatkan keinginannya. How can a man who thinks he’s mature enough, yang menegur saya “kamu dewasa dikit sih, inget umur dong:” malah melancarkan ilmu perang dingin sebagai sebuah solusi masalah. Berani2nya ngajak nikah, tetapi ada kendala malah ngilang.

Saya tidak punya masalah membantu mencapai impiannya, that time I would do anything for him [iya-iya love is blind katanya kan] But it takes two to tango, tidak semua bisa berjalan sesuai keinginannya. Bagaimana dengan keluarga, dengan saya yang jadi partnernya? Sampai saat ini saya sungguh ga mengerti konsep pernikahan apa yang ada di benaknya. Sederhananya mungkin saya bukan orangnya yang bisa memenuhi impiannya. Tapi saat itu saya berusaha sekuat2nya untuk mengerti dan berusaha kompromi dengan keinginan dia. Untuk jadi yang dia mau. Dan ini yang membuat saya jatuh sedalam2nya. In the first place, dia yang memohon supaya saya mau menjadi pasangan hidupnya. How could he say this and treat me bad way in the end?

I always say, hal yang paling kejam yang bisa dilakukan laki2 terhadap perempuan bukanlah mengambil keperawanannya [tanpa mengecilkan arti perawan itu sendiri]. Saya harus menyampaikan ini dengan hati2 karena ini isu sensitif. I mean, seorang wanita tidak akan mati karena kehilangan keperawanannya, tapi dia bisa mati [like every human do] ketika dia kehilangan rasa percaya dirinya, impiannya, keinginan untuk hidupnya. Sekali lagi, tolong jangan membaca ini secara harfiah, karena saya tidak dalam posisi mau memojokkan korban rape. Menurut saya, seorang laki2 bisa melakukan hal lain untuk bisa mengakibatkan damage yang sama hebatnya dengan raping. Ketika kamu berada dalam sebuah hubungan, where you feel unwanted, not needed, feeling guilty all the time, merasa bodoh, tidak berharga, merasa jelek, tetapi kamu tetap bersamanya karena kamu takut tidak ada yang mau lagi sama kamu kecuali dia. He’s raping you. Not physically, but mentally. And the bad news is, girls.. kamu lah yang mengijinkan itu terjadi.. atas nama cinta.

Saya merasakan ada dua orang dalam diri saya yang bertengkar hebat, maybe itu hati dan pikiran saya.
Hati saya bilang : hey, dia sudah bilang I love you, dia melamar kamu, dimana lagi kamu bisa dapetin cowo kaya gitu, sabar aja kenapa sih?
Dan pikiran saya bilang : Apa iya yang katanya sayang sama kamu, tapi koq memaksakan kehendak, ga mau menunggu sampai kamu siap dulu, mau gitu hidup sama orang kaya gitu? Seumur hidup lho bo.

I know there’s lot of people more suffer than me, coba lihat ada yang kelaparan dan kekeringan. But that time saya merasa jadi orang yang paling sengsara sedunia, Cuma mampu tenggelam dalam rasa mengasihani diri. Orang2 disekitar saya bilang : auramu jelek banget sih, koq keliatan kayak ‘lost’ gitu? Saya memang tetap beraktivitas seperti biasa [thank God saya masi punya kerjaan]. I’m in that point, ketika melihat bayangan diri sendiri di cermin, saya benci apa yang saya lihat. Siapa sih mahluk jelek itu, ga heran ya dia ga mau sama saya, saya aja benci melihatnya. Saya merasa pantas ga diperjuangkan sama dia. Dan tau ga, sesungguhnya saya sadar ini tidak baik, tetapi saat itu saya tidak tahu caranya keluar dari perasaan rendah diri akut itu.

To Be Continued...


22 November 2009

Anak Laki-Laki Buta


Seorang anak laki-laki buta duduk di tangga sebuah gedung dengan sebuah
topi terbalik tergeletak di depannya. Dia memegang kertas yang bertuliskan
: “Saya orang buta, tolong saya.” Hanya ada beberapa uang koin di dalam
topi itu.

Ada seorang laki-laki yang berjalan melintas. Dia mengambil beberapa uang
koin dari dalam sakunya dan menjatuhkannya ke dalam topi itu. Kemudian dia
mengambil kertas yang dipegang anak itu, membaliknya dan menuliskan
beberapa kata-kata. Dia mengembalikan kertas itu untuk dipegang lagi oleh
si anak laki-laki, sehingga setiap orang yang berjalan melintas dapat
membacanya.

Segera topi itu penuh dengan uang koin. Banyak orang yang memberikan uang
pada anak laki-laki buta itu.