Hari ini saya bertemu dengan seseorang. Ini pertemuan kedua, setelah 3 bulan berlalu dari pertemuan pertama. Urusan kerjaan, kebetulan berkaitan dengan posisi saya. Orangnya baik dan sopan. Wajahnya putih bersih mengingatkan saya pada Edric, aktor komedi itu. Penampilannya rapi khas eksekutif muda. Lengkap dengan kacamata minus dan rambut dipotong pendek. Tidak lupa membawa blackberry dalam genggamannya. Apa yang terjadi?
Bukan karena salah dia. Dia cuma datang melakukan tugasnya. Lalu kenapa benci? Pada saat pertemuan pertama, sembari menunggu fotocopy dokumen dan lain-lain, dia sempat bercerita. Bahwa dia seangkatan lebih muda dari saya. Dengan jurusan yang sama di kampus negeri yang sangat terkenal. Bahwa dia juga baru bekerja 6 bulan di salah satu perusahaan kimia bergengsi di Semarang. Bahwa dia ditawari posisi di Jakarta, tetapi ditolak dengan alasan (ini yang bikin saya semakin benci sama dia) dia sedang melanjutkan kuliah S2-nya sembari kerja.
Dan tidak, dia tidak menceritakan itu semua dengan pamer. Justru dia bercerita dengan nada yang biasa saja, like it's no big deal. Padahal hampir semua yang dia ceritakan itu pernah menjadi impian saya. Ya, saya cemburu. Cemburu pada kesuksesan yang dia ceritakan itu. Bahkan pada pertemuan kedua ini, tanpa perlu bertanya pun saya tahu, posisi dia sudah setahap lebih naik dari waktu pertama kali kita ketemu. Harusnya tempat kerja saya belum menjadi bagian prospeknya. Kalau dia datang dan menawarkan kerja sama, artinya se-Jawa Tengah sudah jadi wilayah tanggung jawab dia. Sungguh membuat iri, bagaimana seseorang bisa maju hanya dalam waktu 3 bulan.
Yang ada setelah dia pulang, saya tenggelam dalam sengatan rasa iri, dan mengasihani diri. Kenapa sih kelihatannya orang gampang banget ngedapetin itu semua?
Yang ada setelah dia pulang, saya tenggelam dalam sengatan rasa iri, dan mengasihani diri. Kenapa sih kelihatannya orang gampang banget ngedapetin itu semua?
Yea, yeaa, i know everything happens for a reason. Trus apa lagi tuh, you are what you eat *eh?* you are what you're thinking. Semua pilihan-pilihan kecil yang kita ambil akan berakumulasi ke masa depan yang akan datang. Tetapi untuk beberapa orang yang beruntung nampaknya dapat akses ke jalan pintas, jadi bisa duluan sampai di tujuan. Huh.
Dipikir-pikir lagi, perbedaan saya dengan dia itu cuma masalah gender dan tahun kelahiran. Ya dia laki-laki, dan lebih muda umurnya *huh*. Harusnya saya bisa dong berada di posisi seperti dia sekarang. Memang seperti membuang garam ke laut saja, memikirkan hal yang sudah lewat seperti itu. Wasting time, tapi justru itu yang dari tadi mengganggu pikiran saya. Duh, sungguh ngga penting deh Sher :(
Lagian, apa untungnya buat saya membenci orang itu. Cuma semakin menunjukkan sirik tanda tak mampu *haha!* Akhirnya saya jadi merenung, apa yang menyebabkan saya begitu tersengat oleh percikan rasa iri. Saya rasa, saya belum melakukan yang terbaik. Belum bekerja dengan giat, dan belum belajar lebih banyak. Banyak hal yang ingin saya lakukan tetapi tertunda begitu saja dengan alasan-alasan sepele yang ujung-ujungnya bermuara pada kemalasan. Seharusnya saya tidak punya alasan untuk iri, saya mendapatkan apa yang sudah saya pilih. Progress saya segitu-segitu saja, ya hasil dari tindakan saya yang memang cuma apa adanya saja.
Hari ini saya ditunjukkan bahwa impian saya sebenarnya engga ketinggian, bahwa itu sangat bisa diupayakan. Bahwa berpikir realistis tidak mesti mengorbankan impian. Toh sudah ada contoh hidup yang bisa saya lihat sendiri. Dan sebenarnya saya yakin, dia mendapatkan itu semua dengan usaha.
Yaa kalo lewat sodara, namanya juga tetap usaha kan ;)
"Kapan bahagia ? Ketika cukup!" - Anthony de Mello
Nampaknya saya mesti lebih banyak belajar mencukupkan diri dengan rejeki hari ini.
Oiya dan belajar memiliki impian lagi :)
1 komentar:
Like this! :D
Posting Komentar