Feed me!

21 Desember 2009

Celebrating Mother's Day

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang Surya menyinari dunia

Lagu ini selalu menyentuh hati saya karena mengingatkan saya dengan mama saya. Bagi tiap orang, mama masing-masing selalu yang terbaik untuk diri sendiri. Because there is no other love like a mother's love for her child.

Mama saya sudah menikah di umur 19 tahun, setahun kemudian memiliki anak pertama yaitu kakak saya. Saya lahir 3 tahun kemudian kedua adik saya. Hubungan saya dengan mama awalnya tidak begitu dekat bahkan waktu kecil saya sering sekali iri sama kakak saya, terutama saat mereka berbicara berdua saja talking something i didn’t know. Membuat saya merasa mama ‘direbut’. Saya sering di bilangin : Mau tahu aja, ini urusan orang gede. Mungkin itu juga yang bikin saya addict minum kopi. Buat saya boleh minum kopi itu kayak lisence bahwa saya sudah ‘gede’, karena dulu saya lihat yang minum kopi itu ya cuma orang2 dewasa, si papa, si mama, atau bapak2 yang bertamu ke rumah. Sekarang saya bisa minum kopi bercangkir-cangkir tapi satu hal yang saya sadari kemudian : Jadi ‘gede’ itu ga ada hubungannya sama minum kopi Sher!



Mama membesarkan saya dan saudara saya sendirian karena papa selalu tugas di luar. Buat saya, bedanya ada papa atau tidak cuma sebatas ada rokok di rumah dan ga bisa nonton tivi sampe malem. Saya memang ga punya banyak kenangan soal papa saya, karena beliau jarang di rumah dan kalo pun di rumah, we didn’t talk much. Selama saya sekolah sampai SMP, mama saya selalu bisa back up everything, dan selama itu juga saya beberapa kali tersentil dengan pertanyaan2 jujur bin menyilet dari teman saya. Pas bagi rapor misalnya : Sher, papa kamu mana? Koq ga pernah ngambilin rapor sih? Padahal awalnya bagi saya it’s no problemo kan kalo rapormu di ambilin nyokap? Tapi dari saat itu pun saya tahu bahwa absennya papa saya membuat saya jadinya ‘beda’ sama temen-temen yang lain. Tapi saya juga belajar menerima itu sebagai sesuatu yang biasa. Walaupun baru umur segitu saya juga tahu bahwa ada lho yang situasinya seperti saya, even they don’t have parents.

Keluarga saya mengalami krisis awal saya masuk SMA, waktu itu papa sudah ga kerja dan situasinya kakak saya mau kuliah, saya masuk SMA, dan adik saya paling kecil masuk SD, tentunya butuh banyak biaya. Saya selalu percaya bahwa mama saya bisa mengatasi segala hal tapi saat itu saya sering melihat mama saya nangis. Belakangan saya baru tahu bahwa itu karena saat itu mama saya bingung sekali, bahkan punya pikiran mau membagi saudara saya ke paman-bibi saya buat diasuh. Tapi akhirnya mama saya belajar berwiraswasta, sekali lagi saya percaya saya benar ~ mama saya bisa ‘memperbaiki’ segalanya, mulai dari baikin keran air, pompa, keadaan yang buruk, everything! Semuanya berjalan sesuai jalurnya lagi, kakak saya bisa kuliah, saya dan adik2 bisa melanjutkan sekolah [tanpa dipisah2 tentunya]. Kemudian belajar dari pengalaman, selama 3 tahun kemudian, mama saya sudah menabung buat jatah saya kuliah. Begitu lulus saya langsung diantarkan ke Yogya, dengan pertimbangan saya lulus PMDK di sana dan biaya hidup yang murah. Oh iya dan ada paman saya di Yogya [yang pada hari pertama saya masuk kos, malah pindah tugas ke Padang, jadinya tetap saja saya sendirian di Yogya]

Pertama kalinya saya merasa sendiri itu saat saya nge-kos. Saya masih ingat sensasinya menatap kamar kos yang kosong itu. Selama ini saya harus berbagi kamar, dan di rumah tidak pernah sepi, tiba-tiba saya mendapati tempat yang senyap. I don’t mean to be a cry baby, karena saya toh ga merasa manja, hanya... tidak pernah berpisah lama dengan keluarga, not to mention sendirian di tempat yang ga saya kenal. Awalnya saya senang karena alasan egois ~ akhirnya saya punya kamar sendiri yay! Toh saya merasakan juga keheningan yang menyiksa, yang menyesakkan diri sampai bikin saya nangis-nangis sendiri di kamar kos. Karena takut. Ya takut. Takut ga punya teman, takut karena ga tau tempat makan di mana, takut kalo sakit nanti siapa yang ngerawat, takut karena ga ada mama. Dan yang bikin saya stop berputar-putar dengan pikiran semacam itu, saat saya ingat mama saya ~ mama membesarkan 4 anak sendirian lho, mama sudah bersusah payah kerja supaya kamu bisa kuliah, bukan jadi anak yang cengeng begini, kamu anaknya mama bukan sih? masa iya karena begini aja sudah nyerah?

Kemudian untuk mengalihkan perhatian [supaya ga mewek mulu], saya beres-beres bawaan saya karena apalagi yang bisa dilakukan anak baru masuk kos selain beberes? I found my Bible, the one my mom bought for me. Saya bukan org yang rajin baca Bible, no spesific reason, tapi saat itu sambil menimbang-nimbang buku itu mau ditaruh dimana, saya buka buku itu. Apa yang saya temukan? Halaman yang langsung terbuka adalah Mazmur, dan mata saya langung tertumbuk di Mazmur 27:10

“Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.”

Somehow, saya jadi percaya, everything will be okay. Even i’m scared to death, menghadapi hari pertama kuliah, dan hari-hari berikutnya. Saya berhenti menangis, mandi dan memantapkan tekad keluar dari kamar untuk kenalan dengan teman kos. I’m an introvert person, to come and show out like that, bikin saya pengen muntah rasanya. Malam itu saya kembali ke kamar untuk istirahat, setelah punya teman baru, makan malam rame-rame, diajak gereja bareng, ngampus bareng [dasar parno aja berlebihan]. Dan saya bisa cerita dengan bangga sama mama, saya berhasil melewati hari pertama nge-kos dengan baik [ha! if only she knew this].

Selama masa-masa sulit kuliah, alasan saya bisa berdiri lagi adalah mama saya. Gak, saya ga mau muluk2 bilang bahwa Tuhan beserta saya blablabla even ya saya juga percaya hal itu, tapi all the time saya jadi kuat lagi, karena saya cuma pengen jadi seperti mama saya, seorang wanita yang kuat. Bahkan sampai saat-saat ini pun saya masih suka berpikiran apa yang bakal mama lakukan kalo diposisi saya? That’s why saya jadi punya batasan yang tinggi untuk jadi seorang ibu, and ya saya memang ‘keras’ sama diri saya sendiri.

Setelah krisis itu, papa saya pindah ke Jakarta, seperti slogan para pendatang pada umumnya, intinya to find a better life in there. Dua tahun kemudian mama juga pindah ke Jakarta. Saat itu saya mengenal wajah mama saya yang lain. Wajah mama saya yang desperate dan hopeless, since this is her first time she was alone in a big city. Bukan alone dalam artian bener-bener sendiri, di Jakarta justru ada papa, kakak saya, dan ada saudara mama saya. Tapi ya, mama terpisah dari kehidupan yang nyaman dari rumah saya dulu di Kalimantan, teman-temannya, kerjaannya, lingkungan rumah. Saya kembali melihat mama saya seperti dulu saat krisis itu. Keadaan mama mirip dengan.. saya saat masuk kos. Saat itu saya sadar, bahwa setiap orang umur berapa pun, pasti ada saatnya untuk mengecap kesendirian. Mungkin bagi kakak saya saat dia pertama kuliah sendiri di Jakarta, buat saya ~ saat pertama kos sendiri di Yogya, untuk adik saya yang kecil ~ saat pertama dia masuk asrama. Ini adalah saat untuk mama saya menghadapi itu juga. Saya sadar yang dialami beliau tidak berbeda dengan saya, tapi juga tidak sama bebannya. Dan iya saya cuma bisa ikut nangis bersama di telephone kalau mama saya mulai mengeluh, bukan karena beliau suka mengeluh, tetapi karena besarnya beban yang harus ditanggungnya. And i used to hate myself karena ga bisa berbuat apa2 untuk mama.

Saya belajar mengenal mama saya secara utuh, ternyata mama saya bukan wanita super atau penyihir yang bisa makes magic like i used to believe, bahwa dia akan selalu bisa membuat semua kembali sesuai pada tempatnya. Bahwa jadi seorang ibu itu sangat kompleks, she loves and also hates it. Kalau saya menempatkan diri seumur mama sudah punya dan mengasuh 4 orang anak, saya pasti sudah menyerah dari dulu-dulu. Itu sudah sangat berat, apalagi kalau dengan sering absennya pendamping, membuat beliau suka-ga-suka harus jadi single fighter. Tapi cinta dan kagum saya tidak berkurang sedikit pun mengenal sosoknya yang baru ini. Justru beliau semakin terlihat ‘manusiawi’ and reachable buat saya.

Belum lagi masalah antara orang tua-anak yang sering terjadi. Dengan saudara 4 orang [apalagi kalo sodaranya kesebelasan ya?] kita cukup sering mengalami miskomunikasi, dan akhirnya berantem. Saya selalu berpikiran, there’s school for teacher, for secretary, fot pilot, for doctor, but there’s no school for parents. Mereka ga punya silabus untuk pegangan harus ngapain aja untuk membesarkan anak. Mereka hanya melakukan yang menurutnya baik, dilandasi keinginan untuk memberikan yang paling bagus untuk anaknya. Kalau kita bisa berkompromi sama pacar, sama temen, kenapa engga untuk orang tua? Iya itu saya tujukan untuk adik saya yang saat itu bersilang pendapat dengan mama saya. Tapi itu sebenarnya saya tuliskan sebagai reminder untuk diri saya sendiri.

Saya pada dasarnya orang yang lebih baik mengalah daripada ribut, apalagi sama saudara, tapi saya bisa meradang kalau mama saya sudah diusik. Dan ini sudah beberapa kali menimbulkan bentrokan antara saya dengan saudara saya. Kakak saya pernah bilang sesuatu yang ‘menyinggung’ saya : Kalau kamu selalu melakukan apapun dengan alasan demi mama, secara ga langsung kamu menjadikan mama sebagai bad guy nya. Saya ga marah tetapi justru mengakui bahwa kata-katanya benar sekali. Jadi kalau saya jadinya berantem sama saudara, kalau saya jadinya menentang keluarga besar atau saya mengambil pilihan yang akhirnya buruk semua itu semata-mata karena mama saya.

Dan saya akui, iya. Bertentangan sekali dengan prinsip saya untuk selalu bertanggung jawab atas apa yang saya ucapkan dan saya lakukan, untuk yang satu itu, saya masih melimpahkan tanggung jawab kepada mama saya, atas nama pengabdian terhadap orang tua. Semakin lama saya sadari, bahwa ini juga tidak sehat. I have my own life, tanpa mengurangi rasa hormat saya sama orang tua, tapi seharusnya apapun yang saya pilih, saya putuskan, adalah demi diri saya sendiri. Bukannya melemparkan tanggung jawab kepada mama dibalik kedok membela orang tua. Even sudah segede gajah gini, ternyata saya masih manja. Kalau apapun yang saya lakukan adalah demi menyenangkan hati mama saya, bagaimana kalau suatu saat beliau ga ada ? [knock knock on the wood, even when i wrote this, i think i would never ready for those moments]

Maka saat ini saya belajar untuk menyeimbangkan tujuan saya, tentu saja saya ingin selalu jadi anak baik buat orang tua, untuk menyenangkan hati mama saya. Tapi saya juga belajar membuat tujuan untuk saya sendiri. Bukan saya mau jadi egois, tapi saya ingin memperlihatkan sama mama saya, even she’s not with me anymore, saya akan baik-baik saja, karena saya bisa dan mampu bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang saya buat. Dan nanti yang perlu dia lakukan hanya tersenyum dan bilang : That’s my girl.

Even after all these times, kadang saya yang menyakiti hatinya, kadang beliau yang melakukannya, tapi kepercayaan saya tidak pernah berubah, seperti mama yang percaya sepenuhnya saat saya dilepas kuliah sendiri [sungguh bukan karena saya hebat atau apa, tapi lebih karena keterbatasan ekonomi]. Seperti mama yang membela saya saat saya "dituduh'"oleh uncle-aunty bakal macem-macem karena memegang keuangan keluarga untuk membayarin uang kuliah sendiri dan adik-adik saya. Beliau cuma bilang kalau saya mau macam-macam sudah saya lakukan dari awal kuliah, ga usah nunggu saat mama saya sudah pindah ke Jakarta. Saya tidak peduli apa kata orang, kalau mama saya percaya saya bisa, i’d do anything to hold on. Mungkin ini ya yang disebut cinta buta? Atau chauvinisme berlebih dengan orang tua/mama? I don’t know much, tapi saya percaya bahwa apapun yang beliau lakukan adalah untuk kebaikan saya. Titik.

Mama saya cuma seorang wanita biasa yang memiliki energi cinta sebesar-besarnya untuk anak-anaknya, seperti yang dilakukan oleh semua ibu. Tetapi dia akan selalu jadi sumber inspirasi saya, role model saya. Selain hadiah kehidupan yang sudah di berikan Tuhan melalui beliau, mama juga memberikan hadiah terbesar dalam hidup saya : kepercayaannya pada saya. Saat saya sendiri ga percaya diri, beliau percaya bahwa saya bisa, dan akhirnya saya bisa. I’m forever thankful mom, because you love me.

Selamat Hari Ibu mam... I love you forever.


[now would you excuse me.. saya sudah janji mau mijetin nyokap :D]

Tidak ada komentar: