Feed me!

12 Desember 2009

Take Your Time


Saya belajar pentingnya untuk tidak tergesa-gesa (sabar/tenang) pada saat Natal pertama saya di Berkeley. Saat itu tahun 1960, dan saya belum terbiasa dengan cara hidup bangsa Amerika.


Saya pergi ke kantor pos untuk mengirimkan paket kepada ibu saya di India. Ketika saya mendekati gedung tua di pojok Allston Way dan Milvia, yang dibangun dalam masa ketika irama hidup lebih lambat, saya melihat mobil-mobil diparkir dua lapis dan orang-orang berlari-lari naik turun tangga granit yang lebar. Di dalam kantor pos yang terasa adalah suasana penuh frustasi, kejengkelan, dan kadang-kadang bahkan terlihat adanya pancaran kemarahan.


Ada kerumunan atau tidak, saya harus mengeposkan paket saya. Saya ikut mengambil posisi di belakang antrean panjang dan berdiri dengan sabar memperhatikan adegan di sekitar saya. Saya menikmati menonton pertunjukan hidup, dan saya menemukan tak perlu mencari situasi istimewa untuk menemukan wawasan dan ilham.





Pada kesempatan itu, semua secaratak sengaja memberi pelajaran bagaimana menghadapi situasi di bawah tekanan. Seorang pemerhati yang tidak memihak pasti akan menganggap adegan itu mnggelikan. Seseorang di depan saya berjingkat-jingkat seolah ia sedang memakai tongkat pogo. Ia begitu tergesa-gesa sampai ia perlu menyalurkan energi kegelisahannya dengan suatu cara, dan dengan orang-orang yang berdesakan di depan dan di belakang, satu-satunya arah yang mungkin adalah menjulurkan badan ke atas.


Kemudian saya merasakan hembusan napas panas di tengkuk saya. Berarti, pria di belakang saya juga sedang terburu-buru, dan dia mengeluarkan energi kegelisahannya dengan menghembuskan udara panas ke leher saya.


"Well," saya pikir, "Natal adalah saat untuk menunjukkan perbuatan baik." Maka saya membalikkan badan. "Silahkan ambil tempat saya," saya berkata kepadanya. "Saya tidak terburu-buru."


Pria itu begitu bingung sampai ia tidak mendengarkan kata-kata saya. Ia hanya berkata kasar, "Apa?"


"Ambillah tempat saya," saya mengulang. "Saya punya banyak waktu. Saya sama sekali tidak terburu-buru."


Ia menatap saya, lalu ia mulai terlihat santai. Saya merasa suasana di sekitar kami mulai berubah. Pria itu meminta maaf karena begitu terburu-buru dan menggumam sesuatu tentang mobilnya yang diparkir di jalan raya di samping mobil seseorang yang sudah diparkir duluan. Saya ingin bertanya, "Kenapa anda parkir ganda?" Tetapi saya pikir lebih baik tidak saya tanyakan.


Perlahan-lahan antrean itu bergerak maju. Wanita muda di meja pelayanan mungkin seorang mahasiswi yang menggantikan pegawai pos selama liburan, ia membuat kesalahan demi kesalahan -memberikan prangko yang salah, salah memberi uang kembalian- sementara orang-orang mengomel dan membetulkannya. Saya bisa melihat dia gelisah, dan semakin ia gelisah, semakin banyak kesalahan yang dilakukannya dan semakin lama waktu untuk menyelesaikan masing-masing urusan. Semua itu karena setiap orang sedang terburu-buru! Seandainya suasana itu terisi dengan keriangan Natal, suasana semacam itu menguap dengan cepat.


Saya menyukai para mahasiswa; saya menjadi seorang profesor selama bertahun-tahun. Jadi ketika giliran saya di loket tiba, saya berkata, "Saya dari India. Santai sajalah."


Wanita itu memandang saya seolah tidak percaya. Tetapi ia tersenyum dan santai, dan ia memberikan uang kembalian yanng benar dan prangko yang benar juga. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengucapkan selamat Natal untuknya.


Ketika saya berjalan keluar, saya memperhatikan pria di belakang saya membalas senyuman wanita itu. Seluruh ruangan agak mengendur ketegangannya; bahkan ada bunyi ketawa di ujung antrean. Suasana tegang menular, tetapi perbuatan baik juga. Hanya satu orang memperlambat tempo, satu orang tidak menekan orang-orang lain, membantu orang-orang yang lain untuk menjadi santai juga.




diambil dari buku "Take Your Time' by Eknath Easwaran, 2003, GPU.


************************************************************************************


Saya pertama kali baca bukunya Eknath Easwaran ini dipinjemin temen kos, si Jezebel itu. Judul bukunya Dialogue With The Death terbitan Gramedia juga dan sampe sekarang saya cari2 ga ketemu, hiks, kalo ada yang dapet info dong, pengen ngelengkapin koleksi. Saya menghabiskan berbulan2 untuk mengerti isi buku itu, dan sampe skrg jg baru setengah yang saya pahamin [and i hate unfinished bussiness].


Jadilah saya memburu buku-bukunya si Eknath ini, dan semua buku Eknath yang saya punya [Take Your Time, Climbing the Blue Mountain, Sayap-sayap Rajawali] saya dapatkan pas pesta buku, dibagian buku diskonan, which is berharga antara 10-20 rb saja :) Aneh ya, saya pikir buku2nya seharusnya sejajar dengan buku2 Gede Prama dan kawan2nya, ato yang kerenan punyanya si Eckhart Tolle [yang sampe puyeng saya baca karena bahasanya lebih 'susah' lagi]. Tapi memang harta itu cuma bisa diketemukan sama orang2 yang mau mencari, ga perlu buku2 yang mahal segambreng untuk mendapatkan 'pencerahan', cuma modal niat, duit en a little bit of luck.


Dari sekian cerita yang ada di buku ini, cerita pembuka itu yang paling saya suka. Dan tentu saja saya praktekin. Jaman kuliah di Yogya dulu, banyak sekali deh pengalaman seperti di atas, kenapa? karena orang Yogya rata-rata santun dan sabar. Jarang sekali saat transaksi turun angkot ato belanja barang, tidak di kasih ucapan "terima kasih mbak/mas". Otomatis sebagai pendatang kita juga ikutan mengembangkan budaya itu.


That's why para pendatang yang berziarah ke kota Yogya berpendapat bahwa atmosfer kota ini santai dan sejuk. Di mana lagi kamu menemukan, mas2 gahar berbadan Ade Rai dengan lengan tato-an [asal bukan tato Mickey Mouse aja ya] tapi pas ketemu mbah2, langsung nunduk dan bilang permisi :) Atau sebaliknya, mas2 rapi-dengan-haircut-potongan-F4-disangka-keren-tapi-jadinya-norak yang nampang di mall, tapi sekalinya ngomong logatnya medok [gubrak!]. Yah, despite all of that, Yogya tetap ngangenin buat dikunjungi dan buat jadi tempat escape/menyepi.


Oh well, it's almost christmas, makanya pas baca (ulang) buku itu dan menemukan bahwa settingnya juga pas Natal, jadi pengen di share di sini. Dalam sinopsis Take Your Time, disebut bahwa "Dalam kungkungan tekanan untuk melakukan lebih banyak hal, untuk terus bergerak, dan terburu-buru, hidup sehari-hari kita sering kali tidak memiliki makna" dan isi buku ini intinya memberikan bimbingan untuk melangkah menuju hidup penuh makna dengan memperlambat mind, salah satunya menjadi sadar terhadap hubungan antara ketergesaan dan emosi negatif seperti kemarahan dan depresi.


"Walaupun kita mungkin tidak selalu menyadarinya, mind-lah, bukan peristiwa-peristiwa luaran, yang membuat kita terus terjebak dalam ketergesaan dan kegelisahan."




[ini omongan kena banget sm saya yang orangnya serba cepat2, fast walker, fast speaker, fast reading, fast food, lho?]




Bener ya ada yang bilang, sometimes the answer is not outside but inside.



source
Dan saya jadi inget, ada PR yang belum saya lakukan untuk Natal ini, rekonsiliasi dengan orang2 yang pura-pura saya hindari akhir-akhir ini hehehe demi kesehatan mind saya, dan terinspirasi semangat Natal [denial]

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Do you know there is a survey that connect the internet speed with the behavior of human? apparently the faster your internet connection, the more impatient you'll become. well pelajaran yang dapat ditarik dari sini adalah, hidup kita sekarang semua serba instant. sehingga kita menjadi tidak sabaran. it's good to be fast, but we also need to mind our surrounding. seperti kata master Oogway di kungfu panda. Now is a gift. that's why it called present :D. so enjoy it.

lumainatic mengatakan...

gw kadang suka sebel banget sama orang-orang yang serba santai dan lelet waktu kerja. katanya cara makan orang menunjukkan cara kerja orangnya ya?
hehehehe....
well, it's time to enjoying all the time we have ya, :)
serba cepat ternyata juga ngga bisa menikmati hidup ya

Cherry mengatakan...

Hyu : we should thank our internet connection then, karena membuat kita more patient? (or jadi males internetan karena koneksi yang lambat banget kaya siput patah kaki)
IMHO, we choose which velocity that fits us best. And yeah, cherish the moment of NOW.

Mey : well, saya juga koq neng, ehehehe. Tapi yang sering terjadi adalah saat orang direcokin malah tambah berantakan, jadi mending slow down deh. Sebenernya gw rasa take your time di sini bukan artinya melambat, tapi menikmati setiap waktu dengan berbagi kebaikan *tsah bahasanya gw ckckck*