Beberapa hari ini entah kenapa saya sering sekali merasa "tawar hati". Semacam kondisi autopilot, yaitu saat saya tertawa itu memang karena harus tertawa, saat serius ya memang momennya serius. Apa kabar dengan ilmu "memaknai setiap tindakan kecil"?
Sebenarnya tidak ada apa-apa. Saya cuma menemukan bahwa terkadang dalam pertarungan tiap hari sungguh melelahkan jika kita menggunakan energi untuk fokus ke semua hal. Dan rupa-rupanya cara yang paling bisa saya gunakan (sekarang) adalah mengaktifkan kondisi autopilot itu. Supaya segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, tanpa intervensi dari rasa pakewuh dan sungkan. Kadang hidup memang tidak adil, tetapi saya yakin dia bergerak sesuai putaran waktu dan juga selalu tepat (atau indah?) pada waktunya.
Singkat cerita, anak baru yang saya ceritakan di entry sebelum ini benar-benar tidak survive sampai akhir bulan. Hari ini saya menerima internal memo dan rekapan salary orang tersebut dari bagian HRD, seketika hati saya rasanya sungguh tidak enak. Kombinasi antara pikiran yang mengatakan : dia mendapatkan sesuai dengan yang dia berikan, dan sayangnya yang dia berikan tidak cukup baik; dengan hati yang berkata : kasihan.
Anak baru itu seusia dengan kakak saya, dan sudah berkeluarga dengan anak satu. Seharusnya dia ditempatkan di bagian yang dia pilih sesuai kemampuannya. Tetapi entahlah, saya tidak begitu percaya dengan kata "sial", dia malah terdampar di bagian saya. Thanks to bapak rese yang saya ceritakan di entry ini, anak baru menggantikan beliau, dan beliau "mengambil" tempat yang seharusnya jadi tujuan si anak baru ini. Yang ternyata sayangnya tidak cocok dengan si anak baru. Mulai dari : bagaimana mungkin dengan background S1 yang dia miliki, dia tidak bisa menggunakan komputer? atau untuk hal teknis yang harus berulang-ulang dijelaskan kepadanya (in another words : lemot).
Saya mengesampingkan soal sifatnya yang katanya (katanya lho) agak sok tahu sehingga menimbulkan rasa tidak suka di antara rekan-rekan kerja lain. Saya paling takut menghadapi terpaan opini semacam itu, dan lebih banyak berdiam diri karena tetap berusaha obyektif. Susah loh menjadi orang yang pura-pura engga tahu padahal sesungguhnya saya tahu, susah berpura-pura untuk pasang tampang innocent maksudnya :)
Dan sebenarnya, memang ternyata si anak baru memang suka sok tahu (haha!) tetapi menurut saya itu bukan hal yang tidak bisa dimaklumi. Karena sok tahu bukan terus artinya dia jahat atau bagaimana. Tetapi sifatnya yang sok tahu itu membuat banyak kesalahan dalam pekerjaan dan membuat dia tampak semakin buruk di mata rekan-rekan kerja. Pada akhirnya demi kepentingan yang lebih besar (perusahaan maksudnya) suka-engga-suka, masa percobaannya tidak diteruskan lagi.
Kejam? memang. Tetapi kalau dipikir-pikir lagi memang begitulah adanya. Saya jadi ingat dengan kata-kata bos saya dulu. "Kita kerja bukan untuk sosial, kita cari untung. Terlepas dari soal kemanusiaan dll, tetapi siapa yang tidak berguna untuk perusahaan, ya pasti akan digantikan dengan yang bisa berguna dan menghasilkan untung."
Mungkin saya cuma kasihan, tetapi kejadian tadi sempat membuat kondisi autopilot saya agak korslet. Apa yang dia alami, mungkin dianggap biasa oleh rekan kerja yang lain. Untuk orang yang masih baru dalam dunia kerja, saya agak syok. Mungkin karena saya punya kebiasaan untuk menempatkan diri di posisi orang lain. Apa jadinya kalau saya lah yang mendapatkan surat itu? Bagaimana rasanya, apa yang akan saya lakukan?
Hidup terdiri dari pilihan-pilihan kecil yang kita ambil tiap harinya, yang kemudian membawa kita berada pada titik ini. Itulah sebabnya banyak petuah yang selalu berpesan supaya memaknai tiap tindakan yang kita lakukan, supaya kita bisa mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Kenapa demikian? karena kalau kita mengambil pilihan secara sadar tiap harinya, kita tahu bahwa hal ini akan berujung pada hal berikut. Sesimpel kalau menanam singkong panennya singkong, kalau menanam melati berbunganya melati, kalau kerja dengan baik hasilnya dapat gaji (esensi ini saya dapat dari tulisan Gede Prama).
Tadi saat pulang kerja, saya bergegas pulang, karena si anak baru sedang dipanggil HRD. Sedangkan rekan-rekan yang di ruangan saya masih berbenah. Saya bukannya mau tidak sopan. Saya cuma tidak tahu harus berkata apa saat bertemu si anak baru. Kata pengantar? sekapur sirih? penghiburan? kalau saya yang berada di posisi dia, pasti semuanya cuma terdengar bullshit. Saya rasa tidak ada kata yang tepat untuk diberikan, apalagi mengingat sifatnya yang sok tahu. Dan saya tidak mau dengan congkaknya bilang bahwa nanti kamu akan dapat yang lebih bagus blablabla... karena sesungguhnya saya tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Dan saya agak sedih mengingat bahwa dia punya anak-istri di rumah yang menunggunya.
Dia memang bukan siapa-siapa kenal juga cuma kurang dari 3 minggu. Tetapi kalau tadi saya berpapasan dengan si anak baru, saya cuma bisa bilang :
1 komentar:
Wah aq sungguh terbawa emosi saat menekuri tulisanmu... sepertinya aq juga akan melakukan hal yg sama Ce, tapi mungkin karena takut salah bicara dan memperburuk keadaannya.. bagus kita 'chicken run' aja..
kann :))
Posting Komentar