Feed me!

20 Maret 2011

Braveheart

Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini? -Pramoedya Ananta Toer.

Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai orang yang berani. Entah dengan orang lain, yang jelas beberapa orang pernah mengatakan bahwa saya sosok yang (dari luar) terlihat tegar & kuat. Salah satunya mantan saya yang mungkin pada akhirnya mengetahui bahwa saya 'manusia biasa' dan akhirnya kecewa dengan ekspektasinya sendiri. Tapi ya biarlah itu menjadi sejarah kelam saja ya.

Menyadari bahwa hanya saya lah yang tahu sejauh mana batas kemampuan saya, saya memutuskan untuk 'menantang' diri sendiri. Yang saya maksud adalah sekarang ini, kondisi di mana saya mencari sesuap nasi di kota lain jauh dari keluarga. Saya mau mempraktekkan apa yang disebut oleh MT sebagai "point of nowhere".


Point of nowhere bisa diartikan sebagai posisi di mana kamu sudah tersudut, terpojok, sehingga tidak ada jalan lain selain menghadapinya. Saya membayangkan strategi perang ala Sun Tzu, ketika pasukan didesak mundur hingga ke pinggir jurang, tidak ada yang bisa lakukan lagi selain maju dan melawan. Dan power of kepepet yang keluar pada saat itu pastinya LEBIH besar dibanding saat melawan dengan penuh persiapan. Kenapa demikian? Because they had nothing to lose. Dari pada mati sia-sia jatuh dari jurang, lebih baik mereka melawan, dan kalaupun mati di tangan musuh, toh mereka juga sudah tahu pilihan lainnya adalah jatuh dari jurang.

Sebenarnya agak 'berat' ya kalau membahas point of nowhere dengan sudut pandang prajurit yang siap mati, tetapi yang mau saya bilang adalah, untuk memunculkan power yang sedahsyat itu, kita harus menempatkan diri seolah-olah berada di titik itu. Dan saya sebagai orang yang terlalu praktis, agak susah rupanya mengimplementasikan kondisi itu. Maka saya 'memaksa' diri saya sendiri untuk keluar dari comfort zone.

Saat ini, di tempat ini, ada banyak cobaan yang saya hadapi. Terutama berkaitan dengan salah paham. Saya sadari hidup sepenuhnya tidak akan pernah lepas dari salah paham. Pernah lihat kan permainan menyampaikan pesan yang dilakukan 10 orang, dan bagaimana pesan yang diterima orang pertama berbeda jauh dengan pesan yang didapat orang ke-10? Maksud saya, itu adalah hal yang lumrah.

Belum lagi soal kritik sana-sini. Saya lupa pernah baca quote ini di mana, seingat saya ini merupakan kata-kata Budha, katanya : orang hidup dengan baik, dikritik; orang hidup dengan buruk, dikritik; di dunia ini tidak ada yang tidak dikritik. Saya tersenyum waktu membaca itu, karena benar sekali apa yang dikatakan itu. Mau se-perfect apapun, omongan miring akan selalu ada, jadi buat apa menghabiskan energi untuk 'meluruskan' nya?

Bukannya saya sudah demikian 'sadar'nya hingga hidup saya tenang-tenang saja di sini. Awalnya saya juga kaget, tidak terima, ngambek, dan kepingin pulang saja. Dan ini lah 'untungnya' saya berada di sini. Saya sudah membatasi langkah dan gerak saya, sehingga kalau bukan keadaan yang urgent sekali saya tidak akan bisa pulang. Dengan kata lain saya berhasil 'memaksa' diri saya yang 'manja' itu untuk tetap bertahan dan melawan kelemahan saya. Karena, mau bagaimana lagi?

Situasi terakhir, saya didatangi seseorang yang nampaknya punya masalah dengan kantor dan berniat mengganggu ketentraman dengan cara membuat saya tidak nyaman (dia menitipkan pesan-yang-tidak-sopan untuk atasan saya). Awalnya saya marah. Saya marah karena dia berhasil membuat saya tidak tenang. Dan saya lebih marah lagi karena saya tidak bisa membalas kata-katanya karena posisi saya sebagai 'pendatang' dan dia sebagai penduduk sekitar, yang membuat strata tidak seimbang. Saya terpaksa menelan sejumlah sumpah serapah yang ingin sekali saya lemparkan ke dia. Belum lagi, dia selalu berada di sekitar tempat tinggal saya , yang pastinya tiap hari saya lalui.

Saat itu, mungkin semua energi negatif sedang berkumpul di diri saya, membuat saya uring-uringan sepanjang waktu. Masalah kesalahpahaman yang menyebabkan tetangga-tetangga saya berpikiran saya anak emas yang difasilitasi kantor, saya yang tiap minggu harus 'menjaga' mess sendirian, ditambah kehadiran pengganggu yang nongkrong di warung sumber gizi saya. Saya bener-bener muak, dan kepengen pulang saja. Tetapi lokasi yang jauh dari kota, belum lagi cara membeli tiket, mengambil uang di ATM, saya tersadar saya tidak bisa pulang seenaknya. Dan itulah blessing in disguisenya.

Saya mangkel, saya bete, saya ngedumel. Berhari-hari. Dan saat semua energi sudah habis, saya cuma bisa pasrah. Ya sudahlah, que sera sera. Saya jadi cuek. Peduli setan ya orang mau bilang apa, selama kerjaan saya baik dan tidak menyusahkan orang lain. Sejak itu, beban saya pelan-pelan berkurang. Ternyata saya sudah berada di posisi dari melarikan diri berbalik menjadi menghadapinya.

Itulah gunanya saya memilih jauh-jauh berada di sini. Coba saya saat ini berada di rumah dengan keluarga. Bisa dipastikan saya masih tiap hari mengeluh itu-itu saja. Bukannya belajar untuk terima dan menghadapi dengan tabah. Dan sekali lagi saya bersyukur karena telah mengenal diri saya dengan baik, sehingga bisa memposisikan diri di tempat seperti ini. Ini lah yang saya inginkan, mendisiplinkan sisi manja saya yang kerap muncul saat situasi mulai berjalan di luar kehendak saya. Saya sadar bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus. Kita butuh menyiapkan diri untuk menghadapi jalan yang berbatu dan terjal itu.

Pulang kerja kemarin, seperti biasa saya mampir di warung untuk membeli makan malam saya. Saya sudah lupa sama sekali soal si pengganggu itu, yang saya pikirkan cuma beli, bayar, pulang. Selesai bertransaksi dengan pemilik warung, saya pulang dan tiba-tiba mendapati orang itu duduk tidak jauh dari warung, dengan tatapan yang bisa saya bilang sebel atau heran mungkin? Saya pasang wajah datar saja, karena sesungguhnya saya sudah berhenti bersungut-sungut tentang dia. Mungkin dia sebel/heran karena saya tidak terpengaruh provokasinya. Siapa yang tahu? Tapi yang jelas hari itu saya pulang sambil tersenyum, saya berhasil mengalahkan sisi manja saya yang kepingin melabrak orang itu. Rasanya puas, mungkin lebih puas daripada kalau saya berani mengkonfrontasi orang itu.

Satu lagi, mungkin ini efek gerundelan saya kemarin (seperti di the power of now begitu kali ya?), dalam waktu seminggu tiba-tiba saja ada tawaran pekerjaan untuk saya (dua tawaran pula!) dengan catatan saya pulang ke kota saya. Untung masa-masa kegelapan itu sudah lewat, kalau tidak mungkin saya langsung setuju saja. Bukannya karena tawaran itu sangat menggiurkan (yang sesungguhnya iya sih) tetapi saat itu pasti saya melihatnya sebagai an easy way out saja. Kondisi kantor yang sedang bertahan menghadapi masalah dan after-effect yang beresiko akhirnya membuat saya memutuskan tetap berada di sini lagi. Saya yakin kalau memang pekerjaan itu milik saya, itu tidak akan kemana-mana.

Saya belum selesai menimba ilmu di sini, walaupun godaan untuk kembali ke comfort zone itu sangat besar. Saya ingin pulang sebagai pemenang, sebagai saya yang lebih kuat lagi. Pernah dengar kan : apa yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat? Suatu saat saya pasti pulang, dan saya akan memastikan saya lebih berani lagi dari saat ini.

What you don't know, you can feel it somehow... U2 - Beautiful Day

source

Tidak ada komentar: