The greatest lie you can create is to say you're okay while you're not, to smile when you're about to cry, and to say no while you really want to say is yes.
Selama saya bekerja, yang cuma singkat sekitar 3 tahun lebih beberapa bulan, saya cuma punya 3 orang atasan. Mereka masing-masing punya hal yang membuat saya respect dan/atau membuat saya malahan antipati kepada mereka, tetapi cuma 1 orang yang saya anggap dekat dan sering saya jadikan figur bapak. Dia adalah atasan saya di kantor yang kedua. Let's called him Dad.
Saya bertemu Dad, di hari pertama saya datang ke mess kantor, ya kantor kedua saya ada di Jawa Tengah menyebabkan saya harus hijrah dari Jakarta ke Magelang. Oh jangan salah, saya justru sangat mengidam-idamkan keluar dari hiruk-pikuknya keramaian metropolitan di kota ini, terbayang dong betapa girangnya saya saat diterima bekerja di sana. Walaupun saya harus tinggal sendiri dan jauh dari orang tua, tetapi i got my personal space there.
Sebagai anak baru, saya masih tinggal di mess manager yang bersebelahan dengan mess direktur tempatnya Dad. Tentu saja saya juga kecipratan fasilitas yang harusnya hanya diperuntukkan untuk direktur, mess yang besarnya bisa untuk 3 keluarga, king-sized bed, TV, cleaning lady, free breakfast & dinner, dan Indovision! Pokoknya mah saya tinggal hidup dan kerja deh :P
Saya seharusnya bekerja di pabrik sebagai bagian chemical blabla, sesuai study saya, tetapi waktu itu Dad sedang membutuhkan orang yang bisa dia percaya sebagai tangan kanannya di bagian Finance. So, pilihan apa yang dia punya selain mengalih-fungsikan saya dari buruh pabrik menjadi staff di kantor? Peningkatan derajat deh ceritanya hahaha. Intinya bukan karena kehebatan atau inisiatif saya bisa banting setir begitu, semua 'dosanya' si Dad tuh. Well at least dia percaya bahwa saya bisa ditraining untuk bekerja di bidang yang berbeda. Dad bilang : kalau mau, pasti bisa. Anjing aja kalau dilatih bisa sepintar manusia, apalagi manusia. Analogi yang agak maksa ya :P
Jadi karyawan baru dan dekat dengan atasan apalagi muda -iya muda karena karyawan lain berumur 30 tahun ke atas- tentu saja banyak tantangannya. Salah duanya pernah saya tuliskan di sini dan di sini. Awalnya saya tentu saja terganggu, walaupun tidak saya tanggapi ya karena saya ini siapa sih, sudahlah pendatang masa mau buat onar juga di situ.
Untunglah Dad selalu support, hampir tiap hari setelah makan malam, kita diskusi tentang apa saja. Bisa tentang pabrik -he's been in paper factory for almost 20 years-, tentang rubik, tentang kehidupan, tentang keluarga, anything. Untuk atasan yang terkesan dingin dan galak di kantor, dia bisa berubah jadi bapak yang seru dan bisa lucu-lucuan kalau di mess. Menurut Dad, jaga image itu perlu untuk menjaga kestabilan di tempat kerja. Tentu saja saya tidak pernah menceritakan kepada rekan kerja betapa hebohnya si Dad kalau ngakak karena nonton Gags =)) Mau taruh di mana mukanya nanti hahaha.
Yang paling saya tunggu-tunggu adalah weekend. Letak pabrik dan mess yang ada di tengah-tengah 2 kota membuat kita harus turun ke gunung -itu istilah saya- untuk cari hiburan atau refreshing. Mobil kantor tersedia dan ada saya sebagai penunjuk jalan, jadilah hampir tiap weekend saya menemani Dad jalan-jalan. Oh ya, fyi Dad juga penggila buku. Dengan sangat bangga saya ajak dia untuk belanja buku di Toga Mas, yang tentu saja bukunya diskonan semua -maklum saya mental mahasiswa :P-.
Siapa sih yang yang ga senang diajak jalan-jalan, dibayarin pula, saya rasa semua juga begitu. Tetapi kalau buat saya, itu seperti menggantikan masa-masa yang tidak pernah saya rasakan bersama bapak saya sendiri. Saya tidak pernah punya quality time bersama bapak saya. Jadi saat bersama Dad, saya kerap berpikir : oh seperti ini ya rasanya punya bapak yang bisa ngajak jalan-jalan, ditanyain mau makan apa, bahkan kadang mau dibelikan sesuatu -dan selalu saya tolak setengah mati-.
Jalan-jalan yang paling saya ingat adalah suatu Sabtu di bulan September, saya, Dad dan seorang atasan lagi, saya ajak nongkrong di alun-alun kota. Jangan salahkan saya, masa direktur dan koleganya saya ajak ngopi di angkringan, soalnya mereka yang mau :))) Malam minggu di alun-alun, tentu banyak kembang api & petasan. Dad dengan impulsif bilang mau beli petasan. Saya sampai terkejut karena, helloo pak inget umur dong pak. Tapi toh saya temani juga dia membeli kembang api yang ga salah-salah lho, ada yang paling besar dengan harga hampir 250 ribu, teteup dibeli dong sama Dad. Petasan itu lalu diberikan ke anak-anak yang sedang main petasan di alun-alun -cemen juga dia, ga berani pegang sendiri hahaha *ups*-. Ketika saya tanyakan, dia cuma menjawab dengan kalem : ya memang karena masa kecil kurang bahagia, dulu waktu kecil miskin sekali, kalau ada yang mainan kembang api & petasan cuma bisa nontonin anak lain saja, sekarang sudah punya uang sendiri tapi jarang punya waktu untuk bisa main begini. Saya jadi speechless :').
Dad umurnya lebih muda sedikit dari bapak saya, tiap sebulan sekali dia kembali ke kotanya untuk mengunjungi istri dan dua anaknya. He's a family man tetapi memang rada workaholic. Yang paling saya kagumi adalah prinsipnya. Dia tidak bisa disuap, sangat tegas dengan karyawan, dan berani ambil resiko. Mungkin perpaduan pengalaman dan kemampuan menjadikan dia orang yang seperti itu, tidak heran juga kalau banyak yang menganggap dia sebagai batu sandungan.
Dalam setahun, pabrik yang tadinya hampir bangkrut sudah berhasil pulih dan menghasilkan keuntungan, tetapi tidak semua orang senang dengan keberhasilan Dad. Saya tidak mengerti birokrasi dan saya tidak mengerti bisnis, tetapi tidak perlu orang jenius untuk tahu bahwa sebuah pabrik dinyatakan pailit JIKA TIDAK memiliki KEMAMPUAN untuk membayar hutang-hutangnya. Pabrik yang diperjuangkan Dad selama setahun ini sudah menghasilkan keuntungan setelah bertahun-tahun sebelumnya mengalami kerugian, kemampuan seperti apa lagi yang dipertanyakan? Yah itu lah busuknya bisnis dikombinasikan birokrasi yang berpihak dengan orang yang berkuasa.
Desember 2011 pabrik dinyatakan pailit, manajemen diambil alih kurator, Dad dilarang masuk pabrik dan dirumahkan. Beberapa karyawan bahkan dirumahkan tanpa alasan yang jelas. Saya? oh saya cuma dipindahkan ke divisi lain 2 kali. Sialan. Mendingan saya dirumahkan saja sekalian. Saya bertahan di sana sampai bulan Juli kemudian mengundurkan diri. Tak sampai hati rasanya waktu saya menelpon Dad untuk bilang saya mau resign. The rest is history.
Saat ini, setahun setelah keputusan pailit dikeluarkan, pihak manajemen sudah melakukan banding ke Mahkamah Agung dan menang! Saya percaya kemenangan ini salah satunya pasti karena Dad yang begitu berani dan tabah menghadapi birokrasi dan orang-orang yang menyerangnya. Dia tipe orang yang resiliencynya tinggi sekali, saya yakin kalau stres dia bukannya kena maag -emangnya saya hehehe- tapi rokoknya habis berbatang-batang :))
Post kali ini saya buat setelah baru saja menerima telpon dari Dad, dia minta saya untuk kembali bekerja di sana, setelah semua urusan serah terima dari kurator ke manajemen selesai. Saya dilema. Sebenarnya saya tahu yang saya inginkan saat ini adalah bekerja di kota ini sayangnya hingga saat ini saya belum mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, hati kecil saya mengejek : ditawari pekerjaan malah dibuang-buang, bagaimana sih kamu? Kenyataan dan impian itu memang ga pernah akur ya :(
I really really wish, i'd find a good job, so i can reject Dad's offer without feeling guilty. The truth is, i really miss that place, the fresh air, the people. I miss chatting with Dad and listening his story. Sometimes your wishes can't come true, when it happens you gotta make another wishes, right?
2 komentar:
fresh air, nice people, great living space. itu komposisi yang bisa bikin betah to the max, hehehe..
well,
goodluck finding your new space :)
Jo,
Oh ya, temptation temptation hehehe seandainya dulu tidak ada kasus pailit pasti saya masih di sana :)
I'm on my way finding the new space, hope it'll worth fighting for :D
Posting Komentar